Nama Haji Abdul Malik Karim Amrullah cukup asing di telinga masyarakat, bahkan di kalangan sastrawan. Namun, ketika nama Buya Hamka disebut, tentu orang familiar sosoknya. Pahlawan Nasional ini popular sebagai seorang ulama, pujangga, pejuang kemerdekaan, anggota Konstituante, aktivis Muhammadiyah, dan akademisi.
Dia dikenal lewat karya-karyanya yang menggugah. Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Di Bawah Lindungan Kabah, dan Tafsir Al-Azhar adalah sederet karya monumentalnya. Karya itu identik berkisah percintaan yang mendayu-dayu. Kecuali buku serius mirip Tafsir Al-Azhar yang dikerjakannya dari renungan di bilik terali besi pada era Orde Lama.
Tadarus Cinta Buya Pujangga hadir sebagai upaya untuk mengenal sosok peraih doktor kehormatan Universitas Al Azhar tersebut. Akmal Nasery Basral mencoba mengonstruksi kehidupan dari sisi perjuangannya dalam merengkuh hidup. Meski terasa singkat, novel ini mampu menggambarkan perjalanan hidup Hamka (1908-1981) yang pernah menjadi joki kuda hingga sukses menjadi sastrawan besar.
Uniknya, lembaran pertama malah diisi dengan kisah Hamka yang ditunjuk pemerintah sebagai imam shalat jenazah untuk almarhum Bung Karno pada Minggu, 21 Januari 1970. Meski sempat dipenjara lantaran terlalu keras mengkritik kebijakan Sang Proklamator, Hamka mencoba berdamai dengan hatinya. Dengan ikhlas, ia melupakan segala permusuhannya dengan Bung Karno dengan melepas jenazahnya.
Kemudian, cerita bergulir dari getirnya Hamka yang melihat kedua orang tuanya bercerai. Dia merasa dekat dengan alam. Hamka yang kalau menangis bisa meraung-raung langsung berhenti seketika saat menatap pemandangan Danau Maninjau.
Tidak heran, ia paling senang menghabiskan waktu di danau paling terkenal di Sumatra Barat itu. Ayahnya, Haji Rasul yang menganggap kegiatan anaknya itu sia-sia sering memberikan hukuman fisik untuknya.
Namun, perpisahan ayah-ibunya membuat Hamka berpaling dari keluarga, dengan menjadikan dunia luar sebagai tempat peraduan baginya. Pendidikan formalnya terhenti, bahkan ia tidak pernah sempat menamatkan Sekolah Desa.
Beranjak dewasa, setelah nekat berhaji dengan bekal seadanya dan menuntut ilmu di Tanah Suci, Malik—panggilan kecil Hamka—berubah pikiran. Dia tidak ingin menetap di Makkah, melainkan memutuskan balik setelah dipengaruhi Haji Agus Salim.
Hamka memilih jalan untuk berkiprah di negeri sendiri, merintis menjadi penulis dan pujangga. Sementara itu, bekal yang ia peroleh selama perantauan keliling Nusantara mengukuhkan kecakapannya sebagai seorang ulama.
Dari novel ini, pembaca menjadi tahu bahwa Hamka pada masa muda tetaplah seorang yang butuh hiburan. Karena itu, ia tidak segan-segan ke bioskop menonton film terbaru. Kebiasaan itu dilakukannya sejak di Padangpanjang maupun saat tinggal di Medan, ketika tengah merintis karier sebagai penulis di berbagai media (halaman 267).
Wawasan Hamka semakin luas setelah sempat menimba ilmu di Yogyakarta kepada HOS Cokroaminoto selama beberapa bulan. Dari interaksinya dengan pahlawan nasional tersebut, ia memperolah cakrawala baru dalam memandang tantangan sosial terkini terkait upaya perjuangan melawan penjajahan Belanda maupun menghadapi gerakan komunis yang mulai menyebar di masyarakat.
Meski ceritanya mampu menggambarkan sosok kehidupan Hamka yang penuh perjuangan dalam menapaki hidup, namun judul novel ini terkesan lebay. Hanya saja, pendiri ESQ 165 Ary Ginanjar Agustian tetap memuji novel ini.
“Novel Tadarus Cinta Buya Pujangga ini merupakan karya penting yang memberi kontribusi bagi pendidikan karakter bangsa dengan cara memikat, membuat pembaca larut dalam kisah yang menggugah dan menyentuh emosi. Sarat dengan nilai-nilai spiritual yang penuh makna.”
Judul : Tadarus Cinta Buya Pujangga
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Salamadani
Tahun : 2013
Tebal : xii + 377 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra
Dia dikenal lewat karya-karyanya yang menggugah. Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Di Bawah Lindungan Kabah, dan Tafsir Al-Azhar adalah sederet karya monumentalnya. Karya itu identik berkisah percintaan yang mendayu-dayu. Kecuali buku serius mirip Tafsir Al-Azhar yang dikerjakannya dari renungan di bilik terali besi pada era Orde Lama.
Tadarus Cinta Buya Pujangga hadir sebagai upaya untuk mengenal sosok peraih doktor kehormatan Universitas Al Azhar tersebut. Akmal Nasery Basral mencoba mengonstruksi kehidupan dari sisi perjuangannya dalam merengkuh hidup. Meski terasa singkat, novel ini mampu menggambarkan perjalanan hidup Hamka (1908-1981) yang pernah menjadi joki kuda hingga sukses menjadi sastrawan besar.
Uniknya, lembaran pertama malah diisi dengan kisah Hamka yang ditunjuk pemerintah sebagai imam shalat jenazah untuk almarhum Bung Karno pada Minggu, 21 Januari 1970. Meski sempat dipenjara lantaran terlalu keras mengkritik kebijakan Sang Proklamator, Hamka mencoba berdamai dengan hatinya. Dengan ikhlas, ia melupakan segala permusuhannya dengan Bung Karno dengan melepas jenazahnya.
Kemudian, cerita bergulir dari getirnya Hamka yang melihat kedua orang tuanya bercerai. Dia merasa dekat dengan alam. Hamka yang kalau menangis bisa meraung-raung langsung berhenti seketika saat menatap pemandangan Danau Maninjau.
Tidak heran, ia paling senang menghabiskan waktu di danau paling terkenal di Sumatra Barat itu. Ayahnya, Haji Rasul yang menganggap kegiatan anaknya itu sia-sia sering memberikan hukuman fisik untuknya.
Namun, perpisahan ayah-ibunya membuat Hamka berpaling dari keluarga, dengan menjadikan dunia luar sebagai tempat peraduan baginya. Pendidikan formalnya terhenti, bahkan ia tidak pernah sempat menamatkan Sekolah Desa.
Beranjak dewasa, setelah nekat berhaji dengan bekal seadanya dan menuntut ilmu di Tanah Suci, Malik—panggilan kecil Hamka—berubah pikiran. Dia tidak ingin menetap di Makkah, melainkan memutuskan balik setelah dipengaruhi Haji Agus Salim.
Hamka memilih jalan untuk berkiprah di negeri sendiri, merintis menjadi penulis dan pujangga. Sementara itu, bekal yang ia peroleh selama perantauan keliling Nusantara mengukuhkan kecakapannya sebagai seorang ulama.
Dari novel ini, pembaca menjadi tahu bahwa Hamka pada masa muda tetaplah seorang yang butuh hiburan. Karena itu, ia tidak segan-segan ke bioskop menonton film terbaru. Kebiasaan itu dilakukannya sejak di Padangpanjang maupun saat tinggal di Medan, ketika tengah merintis karier sebagai penulis di berbagai media (halaman 267).
Wawasan Hamka semakin luas setelah sempat menimba ilmu di Yogyakarta kepada HOS Cokroaminoto selama beberapa bulan. Dari interaksinya dengan pahlawan nasional tersebut, ia memperolah cakrawala baru dalam memandang tantangan sosial terkini terkait upaya perjuangan melawan penjajahan Belanda maupun menghadapi gerakan komunis yang mulai menyebar di masyarakat.
Meski ceritanya mampu menggambarkan sosok kehidupan Hamka yang penuh perjuangan dalam menapaki hidup, namun judul novel ini terkesan lebay. Hanya saja, pendiri ESQ 165 Ary Ginanjar Agustian tetap memuji novel ini.
“Novel Tadarus Cinta Buya Pujangga ini merupakan karya penting yang memberi kontribusi bagi pendidikan karakter bangsa dengan cara memikat, membuat pembaca larut dalam kisah yang menggugah dan menyentuh emosi. Sarat dengan nilai-nilai spiritual yang penuh makna.”
Judul : Tadarus Cinta Buya Pujangga
Penulis : Akmal Nasery Basral
Penerbit : Salamadani
Tahun : 2013
Tebal : xii + 377 halaman
Peresensi : Erik Purnama Putra
Tags:
News